Plafon tahan gempa

file
Meskipun bangunan utama tidak runtuh karena didesain tahan gempa, plafon dan dinding sebuah bangunan sangat rentan runtuh. Peristiwa gempa di Padang, Sumatera Barat, adalah pelajaran berharga tentang betapa pentingnya plafon dan dinding tahan gempa.
Pembuatan bangunan tahan gempa memang tidak sembarangan. Di Indonesia, bangunan harus disesuaikan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 1726-2002 yang menetapkan standar tertentu untuk sebuah bangunan agar tahan gempa. Menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), SNI 1726-2002 meliputi jenis bangunan, ukuran tinggi bangunan dan beban bangunan.
Namun, SNI 1726-2002 hanya berlaku untuk bangunan bertingkat, bukan bangunan sederhana seperti rumah tinggal. Sayangnya lagi, penerapan bangunan tahan gempa oleh SNI terkesan hanya fokus pada bangunan gedung secara struktural. Penerapannya hanya bertujuan mencegah bangunan tidak ambruk.
"Kadang kita lupa, bahwa di dalam bangunan itu tentu saja ada manusia, ada penghuninya. Jadi, begitu terjadi gempa, biasanya orang akan melakukan evakuasi, di situlah kerap musibah terjadi. Fondasi utama memang kuat, tetapi bagaimana dengan dindingnya, bagaimana dengan plafonnya," ujar Technical Manager PT Petrojaya Boral Plasterboard, Indra Budi Wibowo, kepada Kompas.com, akhir pekan lalu.
Indra menuturkan, saat evakuasi, meskipun bangunan utamanya tidak runtuh karena sudah didesain tahan gempa, plafon dan dindingnya sangat rentan runtuh. Ini seperti yang terjadi pada peristiwa gempa Padang, Sumatera Barat, pada 2009 lalu.
"Banyak plafon jatuh dari jenis concealed grid maupun exposed grid. Selain plafon, dindingnya juga banyak yang roboh, seperti dinding bata yang menimpa penghuni," kata Indra.
Jayaboard Seismic Ceiling System
Sejauh ini, praktik pemasangan plafon di lapangan jarang sekali menyentuh elemen non-struktural dan lebih fokus pada fondasi bangunan. Padahal, telah terbukti, mengabaikan elemen tersebut ikut menambah korban jiwa sehingga plafon dan dinding penyekat mau tak mau harus juga dirancang tahan gempa.
Berkaca pada peristiwa gempa Padang, lanjut Indra, Jayaboard melakukan riset untuk menghadirkan solusi plafon gipsum tahan gempa, dan saat ini telah tersedia dua sistem plafon, yaitu concealed grid dan exposed grid, dengan standar internasional.
"Untuk memastikan performanya, kedua sistem plafon ini sudah kami lakukan uji ketahanan gempa di laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan hasil sangat memuaskan, di mana mampu bertahan pada skala gempa yang pernah tercatat di Indonesia, bahkan jauh lebih kuat," ujarnya.
Indra menambahkan, mungkin orang bertanya-tanya tentang kekuatannya sampai berapa Skala Richter? Dia mengatakan, di sinilah perlu diketahui, bahwa proses pengujian di laboratorium menggunakan skala tersendiri, yaitu Peak Ground Acceleration (PGA). PGA menunjukkan besarnya percepatan gempa bumi di atas tanah. Skala PGA tidak tergantung pada jarak ataupun besarnya kekuatan energi gempa bumi di episentrum seperti Skala Richter.
"Dengan menggunakan skala PGA kita bisa mengetahui performa sistem plafon dalam menahan besarnya getaran yang terjadi ketika gempa datang. Hasil tes menunjukkan, kemampuan sistem plafon Jaya Seismik Concealed mencapai PGA 1.44g, sedangkan Jaya Seismik Exposed mencapai PGA 1.23g, dengan kondisi plafon yang masih utuh tanpa adanya kerusakan," papar Indra.
Membuka kembali catatan sejarah gempa bumi di Indonesia, tentu, masih segar dalam ingatan dahsyatnya gempa di Aceh pada 2004 lalu. Dengan skala 8,9 skala Richter yang diikuti dengan tsunami, gempa Aceh tercatat dengan PGA hingga 0,89g. Atau, gempa di Padang tahun 2009 dengan 7,6 skala Ritchter dan PGA hingga 0,3g, atau peristiwa di Yogyakarta pada 2006 dengan skala 5.8 skala Ritchter dan PGA 0,07g.
"Semua gempa tersebut tercatat dengan skala PGA di bawah 1.0g, sementara sistem plafon yang sudah kami uji mencapai hingga 1,44g. Dengan kata lain, sistem plafon ini sangat cocok untuk diaplikasikan di Indonesia," tambahnya.
Untuk itulah, kata Indra, kehadiran Jayaboard Seismic diharapkan bisa sangat berkontribusi bagi bangunan tahan gempa. Apalagi, mengingat Indonesia masuk dalam peta dunia "ring of fire", penciptaan produk ini mengacu pada standar International Building Code (IBC) yang mengeluarkan peraturan kurang lebih menyerukan agar semua bangunan di kawasan "cincin api" harus didesain menggunakan pendekatan ketahanan gempa.
"Sasarannya lebih ke arsitek dan ke building owner sebenarnya, termasuk developer. Karena merekalah yang mempunyai andil besar dalam menyediakan bangunan dengan desain yang aman buat penghuninya," ujar Indra.

0 Response to "Plafon tahan gempa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel